Mereka bukan raja, tetapi lebih berkuasa dari siapa pun yang duduk di singgasana. Mereka bukan politisi, tetapi hukum tunduk pada kemauan mereka. Mereka bukan penegak keadilan, tetapi setiap penguasa yang lahir dari bilik suara mencium tangan mereka.
Sembilan sosok ini sembilan
naga mereka tidak berkuasa karena mandat rakyat, tetapi karena mereka membeli
negara.
Di kota-kota besar, di
gedung-gedung kaca yang menjulang tinggi, mereka duduk di kursi empuk dengan
tangan bersih, wajah berminyak, tersenyum pada dunia seakan-akan merekalah
pahlawan pembangunan. Di bawah kaki mereka, ekonomi negeri ini berputar. Mereka
memiliki pabrik-pabrik yang tak pernah tidur, toko-toko yang menjual kebutuhan
pokok rakyat dengan harga yang telah mereka tetapkan sendiri. Mereka membangun
perbankan, mengatur kredit, menentukan siapa yang boleh kaya dan siapa yang
harus tetap miskin.
Salah satu dari mereka
memegang kendali perdagangan gula dan beras, menentukan harga pangan di negeri
yang katanya agraris ini. Harga melonjak, rakyat mengeluh, pemerintah pura-pura
sibuk mencari solusi padahal solusi tidak pernah ada tanpa restu dari salah
satu naga ini.
Yang lain menguasai
pertambangan, tanah-tanah yang kaya emas dan nikel mereka kuasai dengan lisensi
resmi dari negara. Mereka tidak butuh pengadilan, tidak takut pada aparat.
Mereka adalah hukum itu sendiri. Setiap peraturan yang menghalangi bisnis
mereka bisa dibeli, dihapus, atau diubah sesuai kepentingan.
Ada yang bergerak di
bidang energi, menjadikan listrik dan BBM sebagai komoditas yang mereka jual
dengan harga seenaknya. Mereka punya infrastruktur, mereka punya jaringan, dan
lebih dari itu: mereka punya kuasa. Negara harus tunduk, karena jika mereka
mau, mereka bisa membuat negeri ini gelap dalam sekejap.
Di sudut lain, ada naga
yang mengendalikan industri farmasi. Jika rakyat sakit, mereka harus membeli
obat dari mereka. Jika pemerintah ingin program kesehatan berjalan, mereka
harus melewati para naga ini lebih dulu. Sehat atau mati bukan soal nasib,
tetapi soal seberapa besar laba yang bisa dihasilkan.
Ada yang merajai
industri media, memastikan bahwa setiap berita yang keluar adalah berita yang
menguntungkan mereka. Tidak ada suara yang boleh terlalu lantang menentang.
Jika ada, maka suara itu akan dibungkam dengan cara paling halus atau paling
kasar. Kebenaran bukanlah sesuatu yang harus diungkap, tetapi sesuatu yang bisa
dikendalikan.
Yang lain lagi
menguasai keuangan. Mereka punya bank, mereka punya lembaga investasi, mereka
punya jalan untuk menyelundupkan uang ke luar negeri tanpa ketahuan. Mereka
bisa mencuci uang hasil manipulasi bisnis menjadi modal sah untuk merampok
lebih banyak lagi.
Dan tentu saja, ada
yang menguasai bisnis rokok dan perjudian, dua industri yang katanya haram
tetapi nyatanya menjadi nadi ekonomi negara. Merekalah yang membuat para
pejabat diam. Pajak mereka besar, uang mereka lebih besar. Mereka membiayai
politik, mendanai pemilu, mengangkat boneka-boneka ke tampuk kekuasaan,
memastikan bahwa sistem tetap berjalan sesuai keinginan mereka.
Sembilan naga ini tidak
muncul begitu saja. Mereka tumbuh dalam ketidakadilan, memanfaatkan setiap
krisis untuk memperkuat cengkeraman mereka. Dari krisis moneter 1998 hingga
pandemi terbaru, mereka tidak pernah kehilangan. Justru di saat rakyat jatuh
miskin, mereka semakin kaya.
Mereka tidak pernah
terlihat berpolitik, tetapi setiap partai besar memiliki utang budi pada
mereka. Mereka tidak pernah mencalonkan diri dalam pemilu, tetapi setiap
presiden, gubernur, dan anggota parlemen lahir dari restu mereka. Tidak ada
undang-undang yang bisa lolos tanpa persetujuan mereka. Tidak ada kebijakan
yang bisa dibuat tanpa memastikan mereka tetap diuntungkan.
Mereka membeli tanah,
mereka membeli pabrik, mereka membeli hukum, mereka membeli pejabat, mereka
membeli negara.
Dan rakyat? Rakyat
hanya bisa menonton dari jauh. Mereka tak sadar bahwa setiap keputusan politik
yang dibuat, setiap kenaikan harga yang terjadi, setiap lapangan pekerjaan yang
hilang, setiap ketidakadilan yang mereka alami, semuanya kembali ke meja perundingan
para naga ini.
Mereka adalah penguasa
tanpa mahkota. Perampok tanpa pistol. Tiran tanpa tentara, Pesulap tanpa mantra
yg bisa mengubah Aum jadi meong.
Tetapi selama rakyat
tetap menjual suara mereka, selama partai-partai masih bisa dibeli, selama pemimpin
negeri ini tetap mencium tangan mereka, maka cengkeraman ini tidak akan pernah
lepas. Negeri ini tidak akan pernah benar-benar merdeka.
Dan kita, kita hanya
bisa bertanya: sampai kapan kita rela menjadi budak mereka? @amm
Sumber: https://aidigital.id/berita?id_item=890

Posting Komentar